ASPEK HUKUM DALAM INDUSTRI
JASA KONSTRUKSI
Bidang Jasa Konstruksi
merupakan bidang yang utama dalam melaksanakan agenda pembangunan
nasional. Jasa Konstruksi sebagai salah satu bidang
dalam sarana pembangunan, sudah sepatutnya diatur dan dilindungi secara hukum
agar terjadi situasi yang objektif dan kondusif dalam pelaksanaannya. Hal ini
telah sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30
Tahun 2000 serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Sebagaimana
diketahui bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut asas kejujuran dan
keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan, asas keterbukaan,
asas kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa
dan negara (Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 1999). Pada
pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum, antara
lain keperdataan, administrasi negara, ketenagakerjaan, dan pidana. Keperdataan menyangkut tentang sahnya suatu
perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan,
sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
Administrasi Negara menyangkut tatanan administrasi yang harus dilakukan dalam
memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang konstruksi. Ketenagakerjaan menyangkut tentang aturan
ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi. Pidana menyangkut
tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana. Mengenai hukum kontrak
konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata
mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH
Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian
persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas
kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH
Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu
perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata,
mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan
untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang
diperkenankan.
Permasalahan hukum dalam jasa konstruksi dapat
dibagi menjadi tiga aspek yaitu aspek hukum perdata, aspek hukum pidana, dan
aspek sanksi administratif.
Aspek Hukum
Perdata
Pada umumnya adalah terjadinya
permasalahan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum. Wanprestasi artinya tidak
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik perikatan
yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu karena kesalahan salah satu pihak baik karena
kesengajaan maupun karena kelalain dan karena keadaan memaksa (force majeur),
jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan
yang sifatnya langsung melawan hukum, serta perbuatan yang juga secara langsung
melanggar peraturan lain daripada hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum,
yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya
ditafsirkan secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap
perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang
(onwetmatig). Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan
perbuatan melawan hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan
yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan
perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkan.
Aspek Hukum Pidana
Bilamana terjadi cidera janji
terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme
penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena
kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal
ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana
pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3). Yang secara prinsip isinya sebagaimana
berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi
pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan
kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan
bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana
paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima
persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari
nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat
penerapan sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir
bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena
ada pilihan lain yaitu denda. Dalam hal lain memungkin terjadinya bila tidak
dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan isi kontrak terutama merubah volume
dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak Pidana Penipuan dan
Penggelapan, yaitu yang diatur dalam Pasal 378 KUHP (penipuan) dan Pasal 372
KUHP (penggelapan).
Aspek Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran
Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu peringatan tertulis, penghentian sementara
pekerjaan konstruksi, pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi, larangan
sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa,
pembekuan izin usaha dan/atau profesi, dan pencabutan izin usaha dan/atau
profesi.
KONTRAK FIDIC
FIDIC adalah singkatan
dari Federation Internationale Des Ingenieurs-Conseils (International Federation of Consulting Engineers) yang
berkedudukan di Lausanne, Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh
negara-negara Perancis, Belgia dan Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC
merupakan perkumpulan dari assosiasi-assosiasi nasional para konsultan (Consulting engineers) seluruh dunia. Didukung oleh
ilmu pengetahuan dan pengalaman professional yang sedemikian luas dari
anggota-anggotanya, FIDIC telah menerbitkan berbagai bentuk standar dari
dokumen dan persyaratan kontrak, conditions of contract,
untuk proyek-proyek pekerjaan sipil (civil engineering construction)
sejak 1957 yang secara terus menerus direvisi dan diperbaiki sesuai
perkembangan industri konstruksi. Sejak diterbitkannya edisi ke 1 pada tahun 1957,
maka edisi ke 2 diterbitkan pada tahun 1969, edisi ke 3 pada tahun 1977 dan
edisi ke 4 pada tahun 1987 yang dicetak ulang dengan beberapa amandemen pada
tahun 1992. Pada tahun 1999 telah dikeluarkan edisi ke 1 dari satu dokumen
standar yang sama sekali baru tentang persyaratan kontrak untuk pekerjaan
konstruksi, yaitu ”Conditions of Contract for Building and
Engineering Works Designed by the Employer“. Pada FIDIC tersebut, hal yang penting adalah
diterapkannya suatu pembagian risiko yang berimbang antara pihak-pihak yang
terkait dalam suatu pembangunan proyek, yaitu bahwa risiko dibebankan kepada
pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko tersebut. Jenis kontrak FIDIC
dibagi menjadi beberapa warna, yaitu:
1.
Red book (1999): Desain oleh Employer
2.
Yellow book (1999): Plant and Design-Build, desain oleh kontraktor
3.
Silver book (1999): Proyek EPC/Turnkey
4.
Green book (1999): Short Form of Contract
5.
Gold book (2008): Design, Build and Operate
6.
White book (2017): Client – Consultant agreement
7.
Pink book (2010): MDB harmonized version of red book.
Berdasarkan analisis hubungan antara
Standar Dokumen Kontrak FIDIC (2006) MBD Harmonised Edition dengan Standar
Mentri Pekerjaan Umum diketahui bahwa standar kontrak FIDIC (2006) tidak
bertentangan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
khususnya UUJK No 18 tahun 1999 dan PP No 70 tahun 2012, hanya saja perlu
diadakan sedikit perubahan dan penyesuaian terhadap situasi dan kondisi
peraturan yang berlaku di Indonesia. Secara keseluruhan standar kontrak FIDIC
memang lebih baik dan lebih jelas daripada standar yang digunakan Menteri
Pekerjaaan Umum Indonesia. Ini dapat dilihat dari perbandingan yang dihasilkan
yaitu ada beberapa standar/prosedur kontrak FIDIC yang tidak ada didalam
Standar Menteri Pekerjaaan Umum, padahal standar kontrak itu dinilai sangat
penting, karena jika standar dan prosedur kontrak tidak jelas dan lengkap, maka
akan dapat menimbulkan perselisihan (dispute) sehingga nantinya akan
menyebabkan intrepretasi (penafsiran) yang berbeda-beda.
KLAIM KONTRAK
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, klaim
berarti tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki
atau mempunyai) atas sesuatu. Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara
definisi klaim menurut bahasa Indonesia dengan definisi klaim menurut bahasa
asing, khususnya bahasa Inggris. Klaim berdasarkan kepustakaan bahasa Inggris
berarti permintaan (demand) bukan tuntutan, ini adalah pengertian yang benar
(Yasin, 2004) . Sedangkan hampir dalam seluruh kepustakaan Indonesia klaim
diartikan sebagai tuntutan. Klaim konstruksi, menurut Yasin (2004), adalah klaim
yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa
konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara penyedia jasa
utama dengan subpenyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar dengan
pengguna/penyedia jasa yang biasanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya,
atau kompensasi lain. Di Indonesia hampir tidak ada kontrak konstruksi yang
memuat klausula mengenai klaim, kecuali kontrak-kontrak yang mengacu pada
sistem kontrak konstruksi international seperti FIDIC, JCT, atau SIA.
Jenis-jenis
Klaim Kontrak
Tela dan Saleh (2007) membagi jenis klaim
dalam 4 jenis, antara lain:
1.
Klaim
tambahan biaya dan waktu
Klaim jenis ini biasanya mengenai permintaan tambahan
waktu dan tambahan biaya. Diantara beberapa jenis klaim, dua jenis klaim ini
yang sering timbul akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
2.
Klaim
biaya tak langsung (overhead)
Penyedia jasa yang terlambat menyelesaikan suatu
pekerjaan karena sebabsebab dari pengguna jasa, meminta tambahan biaya overhead
dengan alasan biaya ini bertambah karena pekerjaan belum selesai.
3.
Klaim
tambahan waktu (tanpa tambahan biaya)
Penyedia jasa hanya diberikan tambahan waktu
pelaksanaan tanpa tambahan biaya karena lasan-alasan tertentu.
4.
Klaim
kompensasi lain
Dalam beberapa kondisi, penyedia jasa selain
mendapatkan tambahan waktu juga mendapatkan kompensasi lain.
Berry et al. (1990) membagi jenis klaim dalam empat
kategori utama, yaitu:
1.
Klaim
atas kerugian karena disebabkan oleh perubahan kontrak yang dilakukan pemilik
2.
Klaim
atas tambahan elemen nilai kontrak
3.
Klaim
yang dibuat karena perubahan kerja
4.
Klaim
karena penangguhan proyek.
Perubahan kontrak dalam proyek konstruksi biasanya
terjadi karena konsultan perencana atau owner sendiri melakukan perubahan
desain atau rencana kerja yang telah disepakati sebelumnya. Hal ini
mengakibatkan kontraktor pelaksana harus merubah atau bahkan mengganti hasil
pekerjaan sebelumnya. Klaim juga dapat terjadi karena adanya penambahan biaya
akibat adanya penambahan elemen nilai kontrak dari nilai kontrak sebelumnya.
Hal ini menyebabkan pembengkakan biaya yang harus diderita kontraktor
pelaksana. Perubahan pekerjaan pada umumnya berupa perubahan metode pekerjaan.
Terkadang metode pekerjaan yang diterapkan kontraktor pelaksana tidak sesuai
dengan keinginan perencana atau owner. Oleh karena itu, kontraktor harus
menerapkan metode yang baru untuk proyek konstruksi. Penghentian pekerjaan proyek
atau penangguhan proyek juga sering terjadi dalam suatu proyek konstruksi.
Berbagai penyebab penangguhan ini seperti penundaan pembayaran dapat
menyebabkan terhentinya proses pekerjaan dalam proyek konstruksi.
Faktor-faktor Penyebab Klaim Kontrak
Mitropoulos dan Howell (2001) menjelaskan
bahwa pada dasarnya terdapat tiga akar permasalahan penyebab persengketaan
dalam proyek penyelenggaraan proyek konstruksi yaitu:
1.
Adanya
faktor ketidakpastian dalam setiap proyek konstruksi
2.
Masalah
yang berhubungan dengan kontrak konstruksi
3.
Perilaku
oportunis dari para pihak yang terlibat dalam suatu proyek konstruksi.
Pada umumnya, klaim dalam proyek konstruksi
disebabkan oleh dua pihak yang terlibat dalam suatu proyek konstruksi. Selain
sebab-sebab dari pihak owner/pemberi order pekerjaan dan sebab-sebab dari
kontraktor pelaksana, klaim dalam proyek konstruksi dapat diakibatkan oleh
sebab-sebab dari luar.
Klaim yang disebabkan oleh owner/pemberi
order biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Fisk (1997), dokumen
kontrak yang tidak jelas seperti scheduling clause yang tidak lengkap
berpengaruh dalam keterlambatan proyek. Menurut Rachim, terkadang sasaran waktu
yang diberikan kepada penyedia jasa tidak realistis dan menjadi alasan
terlambatnya proyek konstruksi (Abdulrasyid, 2009). Terhambatnya proyek
konstruksi juga disebabkan karena owner/pemberi order kerja sering melakukan
perubahan dalam rencana proyek yang telah disepakati. Rencana kerja yang tidak
tepat atau kurang lengkap juga dapat menghambat pekerjaan dalam proyek
konstruksi. Tidak lengkapnya rencana kerja ini kerap sekali terjadi dalam suatu
proyek konstruksi. Kendala non teknis seperti keterlambatan pembayaran oleh
pengguna jasa turut berpengaruh dalam terhambatnya proyek konstruksi. Pada
dasarnya, kurangnya komunikasi antara owner/pengguna jasa dengan
kontraktor/penyedia jasa menjadi pemicu timbulnya klaim.
Selain
penyebab dari pihak owner, klaim juga disebabkan oleh beberapa faktor dari
pihak kontraktor pelaksana/penyedia jasa. Kontraktor yang kurang berpengalaman
dalam menangani proyek konstruksi dapat menghambat berjalannya setiap elemen
pekerjaan dalam proyek. Kesalahan interpretasi kontraktor terhadap rencana
kerja, spesifikasi, atau gambar kerja dapat menyebabkan kesalahan produksi dalam
suatu proyek konstruksi. Menurut Saleh, adanya kontraktor dari perusahaan lain
yang juga bekerja dalam satu proyek dapat mengakibatkan kegagalan proyek karena
tidak adanya kerjasama antar kontraktor (Ahuja dan Walsh, 1983). Begitu pula
apabila kontraktor pelaksana dalam waktu yang bersamaan menangani lebih dari
satu proyek, hal ini dapat menyebabkan hasil yang tidak maksimal dalam proyek
konstruksi. Organisasi dan manajemen proyek yang baik sangat mendukung
lancarnya suatu proyek konstruksi. Namun seringkali dalam suatu proyek
konstruksi organisasi dan manajemen proyek tidak dikelola dengan baik.
Organisasi yang tidak efisien dapat menghambat proses berjalannya proyek.
Bahkan sering juga terjadi konflik dalam suatu organisasi proyek.
Faktor
dari luar yang tidak terduga dan dapat menghambat berjalannya suatu proyek
konstruksi serta mengakibatkan klaim, terdiri dari beberapa faktor. Kualitas
material yang digunakan dalam proyek, terkadang tidak sesuai dengan spesifikasi
awal, dan ini dapat mengakibatkan penyimpangan kontrak yang dapat menimbulkan
klaim. Selain itu, pengiriman material tidak selalu tepat waktu yang dapat
menyebabkan terhentinya proses pekerjaan. Kemudian, rendahnya kualitas atau
kemampuan pekerja dalam proyek dapat menghambat proyek. Penyedia jasa atau
dalam hal ini kontraktor pelaksana sering menemukan perbedaan kondisi fisik
antara kondisi di lapangan dengan kondisi yang tertera dalam dokumen kontrak.
Selain itu, kondisi yang tidak terduga seperti hujan lebat atau cuaca yang
tidak memungkinkan dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan pekerjaan sehingga
terjadi keterlambatan pada proyek (Fisk, 1997).
Penyelesaian Klaim Kontrak
Menurut Eilen dan Imelda ada 6 (enam) metode
penyelesaian yang umum digunakan dalam industri konstruksi, antara lain :
1.
Negosiasi
2.
Mediasi
3.
Arbitrasi
4.
Ligitasi
5.
Mini
Trial
6.
Dispute
Review Boards
DISPUTE (SENGKETA)
Sengketa konstruksi adalah sengketa
yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara
para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat
disebut construction dispute. Sengketa konstruksi yang
dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang perdata yang menurut UU
no.30/1999 Pasal 5 diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase atau Jalur
Alternatif Penyelesaian Sengketa. (Nazarkhan Yasin. 2004,Mengenal
Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi). Konstruksi
dimaksud adalah kegiatan jasa konstruksi yang meliputi; Perencanaan,
Pelaksanaan, dan Pengawasan pekerjaan konstruksi.
Sengketa Tidak Berdasarkan Kontrak
Konstruksi
Terdapat aturan hukum yang mengatur
agar kegiatan manusia dapat berjalan dengan lancar, termasuk aturan hukum yang
berlaku dalam bangunan. Pemerintah berperan sebagai badan yang mengeluarkan
peraturan termasuk peraturan yang mengatur pelaksanaan pembangunan (misalnya
masalah perijinan). Sengketa dapat timbul dengan pihak pemerintah bila pihak
yang terlibat dalam penyelenggaraan bangunan dianggap tidak mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (Mutiasari,2006).
Sengketa Berdasarkan Kontrak
Konstruksi
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya dan literature yang ada (Soekirno,2006;
Julianta,2005; Andi,2005; Yasin,2004; Rostiyanti,1998) yang dikutip dalam
Mutiara, 2006 didapatkan definisi jenis sengketa konstruksi, penyebab sengketa
konstruksi dan jenis penyelesaian serta lembaga penyelesaian sengketa
konstruksi sebagai berikut:
1.
Jenis sengketa
Jenis sengketa adalah perubahan
kontrak yang diminta (klaim) secara tertulis, yang diajukan oleh salah satu
pihak pada pihak lain sebagai kompensasi atas “kerugian” atau ketidaksesuaian
implementasi suatu kontrak konstruksi. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai
jenis sengketa, jenis sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 4 jenis sengketa
yaitu:
a. Biaya:
·
Perubahan nilai kontrak
·
Perubahan harga satuan
pekerjaan
·
Perubahan nilai angsuran
pembayaran
b. Waktu:
·
Perubahan waktu kontrak
·
Perubahan jadwal kegiatan
·
Perubahan jadwal pembayaran
c. Lingkup pekerjaan:
·
Perubahan jenis pekerjaan
·
Perubahan volume
·
Perubahan mutu/kualitas
·
Perubahan metode
pelaksanaan konstruksi
d. Gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa):
·
Kombinasi perubahan biaya
dan waktu
·
Kombinasi perubahan biaya
dan lingkup pekerjaan
·
Kombinasi perubahan waktu
dan lingkup pekerjaan
·
Kombinasi perubahan biaya,
waktu dan lingkup pekerjaan
2.
Penyebab sengketa
Penyebab sengketa adalah sumber
timbulnya permintaan kompensasi secara tertulis atas “kerugian” atau
ketidaksesuaian implementasi suatu kontrak konstruksi oleh salah satu pihak pada
pihak lain. Sengketa dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab sengketa
tersebut dikelompokkan menjadi 9 (Sembilan) penyebab sengketa sebagai berikut:
a.
Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan:
·
Pemberian izin
·
Permintaan izin
·
Tidak adanya izin
b.
Penyebab sengketa berkaitan dengan surat perjanjian
kerjasama (kontrak):
·
Isi surat kontrak tidak jelas
·
Isi surat kontrak tidak lengkap
c.
Penyebab sengketa berkaitan dengan persyaratan
kontrak:
·
Isi persyaratan kontrak tidak jelas
·
Isi persyaratan kontrak tidak lengkap
d.
Penyebab sengketa berkaitan dengan gambar:
·
Gambar rencana tidak jelas
·
Gambar rencana tidak lengkap
·
Gambar kerja tidak jelas
·
Gambar kerja tidak lengkap
e.
Penyebab sengketa berkaitan dengan spesifikasi:
·
Spesifikasi tidak jelas
·
Spesifikasi tidak lengkap
·
Perubahan spesifikasi
·
Persyaratan spesifikasi tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan
f.
Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana Anggaran
Biaya (RAB):
·
RAB tidak jelas
·
RAB tidak lengkap
·
Pengukuran hasil pekerjaan
g.
Penyebab sengketa berkaitan dengan administrasi
kontrak:
·
Berita acara
·
Laporan
·
Foto/film
h.
Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi
lapangan:
·
Kondisi lapangan tidak sesuai dengan kontrak
·
Perubahan kondisi lapangan
·
Kondisi lapangan tidak memungkinkan
i.
Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi
eksternal:
·
Perubahan kebijakan pemerintah
·
Perubahan harga atau biaya
·
Pendanaan
Jenis Penyelesaian Sengketa
Secara umum jenis
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (cara litigasi) yaitu (UU RI nomor 18
tahun 1999; UU RI nomor 30 tahun 1999):
·
Negosiasi
Negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya
penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan
mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan
kreatif. Negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga namun memerlukan orang yang
tepat untuk bernegosiasi.
·
Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para
pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersifat netral, dan
tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang
fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan,
kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
·
Konsiliasi
Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa
dengan cara mempertemukan keinginan para pihak dengan menyerahkannya kepada
suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang
bertindak sebagai konsiliator. Peranan konsiliator yaitu menyusun dan
merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak.
·
Arbitrase
Arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para
pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka yang
mungkin akan timbul di kemudian hari yang diputuskan oleh seorang ketiga, atau
penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbitrator) yang
bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan
melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjukan pihak ketiga, hal
mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. Badan arbitrase terdiri
dari arbitrator yaitu pengacara, kontraktor, konsultan (engineer) dan konsultan
hakim. Arbiter harus memiliki pengetahuan bidang konstruksi dan memahami
permasalahan sengketa yang dihadapi.
Terdapat jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(cara litigasi) lainnya yang digunakan di luar negeri, yaitu Eastern Distric of New York, 1993; Thomas B. Treacy, 1995;
Frederick S. Keith, P. E.,1997) Court-Annexed Arbitration, Early Neutral
Evaluation, Mediation, Concensual Jury or Court Trial before a United States
Magistrate Judge, Settlement Conferences, Special Masters, Arbritration,
Dispute Review Board (by ASCE committee on Contract Administration), Minitrial
Summary Jury Trial dan Private Judging.
Lembaga Penyelesaian Sengketa
Lembaga penyelesaian sengketa adalah lembaga yang
dapat membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi. Lembaga penyelesaian
sengketa menurut Soekirno, 2006; Widjaja, 2002; Emirzon, 2001; Margono, 2000
yang dikutip dari Mutiara, 2006 adalah sebagai berikut:
·
Negosiator.
·
Mediator.
·
Konsiliator.
·
Lembaga Arbitrase.
ANALISIS KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI
DI PROVINSI JAWA TIMUR BERDASARKAN KONTRAK KERJA
Latar Belakang
Keterlambatan
proyek konstruksi berarti bertambahnya waktu pelaksanaan penyelesaian proyek
yang telah direncanakan dan tercantum di dalam kontrak (Kusjadmikahadi, 1999).
Keterlambatan pelaksanaan proyek umumnya selalu menimbulkan akibat yang
merugikan bagi pemilik maupun kontraktor karena dampak keterlambatan adalah
konflik dan perdebatan tentang apa dan siapa yang menjadi penyebab, juga
tuntutan waktu, dan biaya tambah (Praboyo, 1999). Berdasarkan studi kasus
beberapa proyek konstruksi di Provinsi Jawa Timur sebagian besar mengalami
kendala keterlambatan dalam penyelesaiannya yang disebabkan oleh beberapa
faktor. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan menjadi solusi
akibat terjadinya keterlambatan. Namun keterlambatan masih juga sering terjadi,
maka dari itu dalam penelitian ini penulis ingin melakukan studi kasus mengenai
faktor-faktor yang menyebabkan keterlambatan, peranan peraturan
perundang-undangan dalam menyikapi keterlambatan proyek konstruksi dan
penerapan penanggulangan keterlambatan proyek konstruksi di Jawa Timur ditinjau
dari sisi kontrak atau sesuai dokumen kontrak.
Data Yang Didapatkan
Data faktor
dominan yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi di Jawa Timur
Faktor
Keterlambatan
|
Proyek
Pemerintah
|
Proyek Swasta
|
Tenaga kerja
|
22%
|
12%
|
Cuaca
|
22%
|
25%
|
Desain
|
17%
|
-
|
Menajerial
|
17%
|
6%
|
Material
|
11%
|
25%
|
Keuangan
|
11%
|
19%
|
Peralatan
|
-
|
13%
|
Berdasarkan
pola yang di hasilkan dan dapat dilihat pada penyajian data, maka dapat dilihat
dengan jelas bahwa faktor dominan yang mempengaruhi keterlambatan proyek
konstruksi di daerah Provinsi Jawa Timur baik dalam lingkup Pemerintah maupun
Swasta adalah di dominasi oleh faktor cuaca, yaitu tingginya intensitas curah
hujan. Hal ini didukung dengan kondisi real yang terjadi di lapangan di setiap
penghujung tahun sekitar bulan Agustus-Desember.
Pembahasan
Dari
hasil analisis data yang telah dilakukan, maka dapat kita lihat suatu pola dari
faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan. Dari data diatas dapat terlihat
dengan jelas bahwa faktor cuaca kontras menjadi faktor dominan dikedua sektor
yaitu Pemerintah dan Swasta. Pada proyek Pemerintah, faktor lain yang
mendominasi selain cuaca adalah faktor tenaga kerja / tenaga ahli (Sumber Daya
Manusia). Hal ini tentu disebabkan karena kurangnya skill dari pekerja yang
sesuai dengan standar pekerjaan yang dilakukan dan sesuai dengan profesi yang
di emban. Misalnya ada beberapa pekerja yang tidak memiliki Sertifikat Keahlian
atau ada beberapa pengawas yang berpendidikan tinggi tetapi dalam bidang lain
seperti misalnya Hukum, hal ini jelas menyimpang karena di lapangan yang di
butuhkan adalah keahlian teknis khususnya dibidang Teknik Sipil. Hal ini sesuai
dengan pendapat Fansuri (2014), dalam jurnal yang berjudul “Penyebab Terjadinya
Keterlambatan Waktu Penyelesaian Proyek Konstruksi Di Dinas PU. Bina Marga
Kabupaten Sumenep” yang menyatakan bahwa Tenaga kerja merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi. Faktor berpengaruh
berikutnya adalah desain, yaitu perubahan pada desain. Hal ini dikarenakan pada
proyek pemerintah desain suatu bangunan menyesuaikan dengan kebutuhan khalayak
ramai karena sebagian besar bangunan khususnya gedung adalah dibangun untuk
kepentingan umum / fasilitas umum dengan menyesuaikan manfaat dan juga
kapasitas bangunan tersebut.
Demikian halnya dengan proyek
Swasta, faktor cuaca juga mendominasi keterlambatan proyek konstruksi. Kemudian
untuk faktor lainnya yang paling mendominasi adalah faktor material. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hasibuan, et. al., (2013), pada jurnal yang berjudul
“Analisa Manajemen Terhadap Faktor Keterlambatan Proyek Konstruksi di
Lingkungan Dinas Pariwisata Kabupaten Rokan Hulu” menyatakan bahwa Bahan /
Material merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keterlambatan proyek
konstruksi. Dan setelah penulis teliti lebih lanjut, faktor ini disebabkan
karena spesifikasi material / bahan ditentukan oleh pemilik (owner), jadi
material yang digunakan adalah sesuai dengan selera pemilik (owner). Oleh
karena itu, material yang sesuai seringkali susah ditemukan di pasaran. Selain
itu kadang pemikiran pemilik (owner) juga berubah seiring berjalannya waktu
pelaksanaan proyek, yaitu mengenai penggantian material karena ternyata pemilik
(owner) menemukan material yang lebih bagus, lebih murah, atau lebih sesuai
selera.
Peran
peraturan perundang-undangan
Penanganan
keterlambatan yang disebabkan oleh berbagai faktor diatas telah diatur dalam
Peraturan Perundang-Undangan. Diantaranya yaitu Undang-Undang No.2 Tahun 2017
tentang Jasa Konstruksi, yaitu pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang mewajibkan
penyedia jasa menyerahkan hasil pekerjaan secara tepat biaya, waktu dan mutu
atau jika tidak maka penyedia jasa dikenai ganti rugi sesuai dalam kontrak.
Kemudian pada Perpres No. 54 Tahun 2010 Jo Perpres No.35 Tahun 2011 Jo Perpres
No. 70 Tahun 2012 pasal (120) mengatakan bahwa “Penyedia barang / jasa yang
terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam kontrak karena kesalahan penyedia barang / jasa, dikenakan denda
keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai kontrak atau nilai
bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan”. Pada Perpres No.54 Tahun 2010
disebutkan tidak melampaui besarnya jaminan pelaksanaan, sedangkan pada Perpres
No.70 Tahun 2012 maksimal denda tidak disebutkan. Dan denda maksimal 5% pada
Perpres No.54 Tahun 2010 tidak diatur lagi. Peraturan selanjutnya adalah dalam
LKPP (Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah) No.
14/2012 yang mengatur tentang keterlambatan proyek konstruksi menyebutkan
besarnya denda kepada penyedia barang / jasa yaitu : “1/1000 (satu perseribu)
dari harga bagian kontrak yang tercantum dalam kontrak dan belum dikerjakan,
apabila bagian pekerajaan dimaksud sudah dilaksanakan dan dapat berfungsi; atau
1/1000 (satu perseribu) dari harga kontrak, apabila bagian barang yang sudah
dilaksanakan belum berfungsi”.
Peran
Kontrak Kerja
Penanganan
keterlambatan yang disebabkan oleh berbagai faktor diatas telah diatur juga
dalam kontrak kerja sesuai standar masing-masing. Pada proyek pemerintah diatur
dalam Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No :07/PRT/M/2014 Tentang
perubahan kedua atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011
Tentang standar dan pedoman pengadaan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultasi
Buku PK 01 HS: Pascakualifikasi pelelenagan umum / pemilihan langsung), Kontrak
Harga Satuan, yaitu pada SSUK (Syarat-Syarat Umum Kontrak) bagian B.6
Penghentian dan Pemutusan Kontrak No.43 Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan dan
Kontrak Kritis menyatakan “Apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan
sesuai jadwal, maka PPK harus memberikan peringatan secara tertulis atau
dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis”. Kontrak dinyatakan kritis apabila
:”Dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0% – 70% dari kontrak), realisasi
fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana; Dalam periode II
(rencana fisik pelaksanaan 70% -100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan
terlambat lebih besar 5% dari rencana; Rencana fisik pelaksanaan 70% - 100%
dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana
dan akan melampaui tahun anggaran berjalan”. Penanganan Kontrak kritis ini
dilakukan dengan pemutusan kontrak oleh PPK karena pekerjaan dinyatakan selesai
atau terjadi keadaan kahar, Maka PPK membayar pada penyedia jasa sesuai
prestasi melalui rapat pembuktian / SCM (Show Cause Meeting), Sedangkan
keterlambatan yang melampaui tahun anggaran diberi kesempatan 50 (lima puluh)
hari sejak berakhir pelaksanaan pekerjaan dan dengan denda 1/1000 dari nilai
kontrak / bagian kontrak atau dengan Adendum (Untuk menentukan anggaran pada
tahun berikutnya). Dalam SSKK (Syarat-Syarat Khusus Kontrak) pada Permen PU
mengatur tentang pembayaran atas prestasi pekerjaan yaitu berupa termin I
realisasi fisik 30%, Termin II realisasi fisik 55%, Termin 3 realisasi fisik
80%, Termin IV realisasi fisik 100%. Masing-masing termin adalah pembayaran
25%. Penentuan Termin ini tidak selalu sama seperti yang telah disebutkan di
atas tetapi penentuan besar persentase realisasi fisik serta pembayarannya
sesuai kebijakan PPK Dinas setempat. Pada kontrak kerja Swasta, klausula yang
mengatur tentang keterlambatan adalah pasal “Wanpretasi” menyatakan bahwa Pihak
Kedua dinyatakan wanpretasi atau ingkar janji, yakni apabila “Pihak Kedua tidak
memenuhi kewajiban melaksanakan pekerjaan berdasarkan perjanjian sama sekali,
Pihak Kedua tidak memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian ini secara tepat
waktu, Pihak Kedua memenuhi kewajiban pekerjaan dan tepat waktu, tetapi hasil
pekerjaan tidak sesuai dengan surat penawaran beserta lampirannya, Pihak Kedua
melakukan suatu tindakan yang menurut perjanjian ini tidak boleh dilakukan dan
/ atau pernyataan dan jaminan yang diberikan pihak Kedua kepada pihak Pertama
terbukti tidak benar”. Dengan “Sanksi” pihak Kedua wajib melakukan pembayaran
denda keterlambatan kepada pihak Pertama sebesar 1/1000 dari Nilai pekerjaan
untuk setiap hari keterlambatan, dan tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari
terhitung sejak hari pertama keterlambatan pekerjaan tersebut terjadi. Semua
ini dibuktikan melalui surat pemberitahuan peringatan atau teguran dari pihak
Pertama kepada Pihak Kedua.
Daftar
Pustaka: