Sabtu, 09 November 2019

ASPEK HUKUM, KONTRAK FIDIC, KLAIM KONTRAK, DAN DISPUTE(SENGKETA) DALAM INDUSTRI JASA KONSTRUKSI INDONESIA


ASPEK HUKUM DALAM INDUSTRI JASA KONSTRUKSI

Bidang Jasa Konstruksi merupakan bidang yang utama dalam melaksanakan agenda pembangunan nasional. Jasa Konstruksi sebagai salah satu bidang dalam sarana pembangunan, sudah sepatutnya diatur dan dilindungi secara hukum agar terjadi situasi yang objektif dan kondusif dalam pelaksanaannya. Hal ini telah sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30 Tahun 2000 serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Sebagaimana diketahui bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut asas kejujuran dan keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan, asas keterbukaan, asas kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 1999). Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum, antara lain keperdataan, administrasi negara, ketenagakerjaan, dan pidana. Keperdataan menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian. Administrasi Negara menyangkut tatanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi. Ketenagakerjaan menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi. Pidana menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana. Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang diperkenankan.
Permasalahan hukum dalam jasa konstruksi dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu aspek hukum perdata, aspek hukum pidana, dan aspek sanksi administratif.

Aspek Hukum Perdata
Pada umumnya adalah terjadinya permasalahan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain dan karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang sifatnya langsung melawan hukum, serta perbuatan yang juga secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig). Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan perbuatan melawan hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkan.

Aspek Hukum Pidana
Bilamana terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3). Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda. Dalam hal lain memungkin terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam Pasal 378 KUHP (penipuan) dan Pasal 372 KUHP (penggelapan).

Aspek Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu peringatan tertulis, penghentian sementara pekerjaan konstruksi, pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi, larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa, pembekuan izin usaha dan/atau profesi, dan pencabutan izin usaha dan/atau profesi.

KONTRAK FIDIC

FIDIC adalah singkatan dari Federation Internationale Des Ingenieurs-Conseils (International Federation of Consulting Engineers) yang berkedudukan di Lausanne, Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh negara-negara Perancis, Belgia dan Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC merupakan perkumpulan dari assosiasi-assosiasi nasional para konsultan (Consulting engineers) seluruh dunia. Didukung oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman professional yang sedemikian luas dari anggota-anggotanya, FIDIC telah menerbitkan berbagai bentuk standar dari dokumen dan persyaratan kontrak, conditions of contract, untuk proyek-proyek pekerjaan sipil (civil engineering construction) sejak 1957 yang secara terus menerus direvisi dan diperbaiki sesuai perkembangan industri konstruksi. Sejak diterbitkannya edisi ke 1 pada tahun 1957, maka edisi ke 2 diterbitkan pada tahun 1969, edisi ke 3 pada tahun 1977 dan edisi ke 4 pada tahun 1987 yang dicetak ulang dengan beberapa amandemen pada tahun 1992. Pada tahun 1999 telah dikeluarkan edisi ke 1 dari satu dokumen standar yang sama sekali baru tentang persyaratan kontrak untuk pekerjaan konstruksi, yaitu ”Conditions of Contract for Building and Engineering Works Designed by the Employer“. Pada FIDIC tersebut, hal yang penting adalah diterapkannya suatu pembagian risiko yang berimbang antara pihak-pihak yang terkait dalam suatu pembangunan proyek, yaitu bahwa risiko dibebankan kepada pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko tersebut. Jenis kontrak FIDIC dibagi menjadi beberapa warna, yaitu:
1.   Red book (1999): Desain oleh Employer
2.   Yellow book (1999): Plant and Design-Build, desain oleh kontraktor
3.   Silver book (1999): Proyek EPC/Turnkey
4.   Green book (1999): Short Form of Contract
5.   Gold book (2008): Design, Build and Operate
6.   White book (2017): Client – Consultant agreement
7.   Pink book (2010): MDB harmonized version of red book.
Berdasarkan analisis hubungan antara Standar Dokumen Kontrak FIDIC (2006) MBD Harmonised Edition dengan Standar Mentri Pekerjaan Umum diketahui bahwa standar kontrak FIDIC (2006) tidak bertentangan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya UUJK No 18 tahun 1999 dan PP No 70 tahun 2012, hanya saja perlu diadakan sedikit perubahan dan penyesuaian terhadap situasi dan kondisi peraturan yang berlaku di Indonesia. Secara keseluruhan standar kontrak FIDIC memang lebih baik dan lebih jelas daripada standar yang digunakan Menteri Pekerjaaan Umum Indonesia. Ini dapat dilihat dari perbandingan yang dihasilkan yaitu ada beberapa standar/prosedur kontrak FIDIC yang tidak ada didalam Standar Menteri Pekerjaaan Umum, padahal standar kontrak itu dinilai sangat penting, karena jika standar dan prosedur kontrak tidak jelas dan lengkap, maka akan dapat menimbulkan perselisihan (dispute) sehingga nantinya akan menyebabkan intrepretasi (penafsiran) yang berbeda-beda.

KLAIM KONTRAK

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, klaim berarti tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu. Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara definisi klaim menurut bahasa Indonesia dengan definisi klaim menurut bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Klaim berdasarkan kepustakaan bahasa Inggris berarti permintaan (demand) bukan tuntutan, ini adalah pengertian yang benar (Yasin, 2004) . Sedangkan hampir dalam seluruh kepustakaan Indonesia klaim diartikan sebagai tuntutan. Klaim konstruksi, menurut Yasin (2004), adalah klaim yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara penyedia jasa utama dengan subpenyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar dengan pengguna/penyedia jasa yang biasanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya, atau kompensasi lain. Di Indonesia hampir tidak ada kontrak konstruksi yang memuat klausula mengenai klaim, kecuali kontrak-kontrak yang mengacu pada sistem kontrak konstruksi international seperti FIDIC, JCT, atau SIA.

Jenis-jenis Klaim Kontrak
Tela dan Saleh (2007) membagi jenis klaim dalam 4 jenis, antara lain:
1.   Klaim tambahan biaya dan waktu
Klaim jenis ini biasanya mengenai permintaan tambahan waktu dan tambahan biaya. Diantara beberapa jenis klaim, dua jenis klaim ini yang sering timbul akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
2.   Klaim biaya tak langsung (overhead)
Penyedia jasa yang terlambat menyelesaikan suatu pekerjaan karena sebabsebab dari pengguna jasa, meminta tambahan biaya overhead dengan alasan biaya ini bertambah karena pekerjaan belum selesai.
3.   Klaim tambahan waktu (tanpa tambahan biaya)
Penyedia jasa hanya diberikan tambahan waktu pelaksanaan tanpa tambahan biaya karena lasan-alasan tertentu.
4.   Klaim kompensasi lain
Dalam beberapa kondisi, penyedia jasa selain mendapatkan tambahan waktu juga mendapatkan kompensasi lain.
Berry et al. (1990) membagi jenis klaim dalam empat kategori utama, yaitu:
1.   Klaim atas kerugian karena disebabkan oleh perubahan kontrak yang dilakukan pemilik
2.   Klaim atas tambahan elemen nilai kontrak
3.   Klaim yang dibuat karena perubahan kerja
4.   Klaim karena penangguhan proyek.
Perubahan kontrak dalam proyek konstruksi biasanya terjadi karena konsultan perencana atau owner sendiri melakukan perubahan desain atau rencana kerja yang telah disepakati sebelumnya. Hal ini mengakibatkan kontraktor pelaksana harus merubah atau bahkan mengganti hasil pekerjaan sebelumnya. Klaim juga dapat terjadi karena adanya penambahan biaya akibat adanya penambahan elemen nilai kontrak dari nilai kontrak sebelumnya. Hal ini menyebabkan pembengkakan biaya yang harus diderita kontraktor pelaksana. Perubahan pekerjaan pada umumnya berupa perubahan metode pekerjaan. Terkadang metode pekerjaan yang diterapkan kontraktor pelaksana tidak sesuai dengan keinginan perencana atau owner. Oleh karena itu, kontraktor harus menerapkan metode yang baru untuk proyek konstruksi. Penghentian pekerjaan proyek atau penangguhan proyek juga sering terjadi dalam suatu proyek konstruksi. Berbagai penyebab penangguhan ini seperti penundaan pembayaran dapat menyebabkan terhentinya proses pekerjaan dalam proyek konstruksi.

Faktor-faktor Penyebab Klaim Kontrak
Mitropoulos dan Howell (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya terdapat tiga akar permasalahan penyebab persengketaan dalam proyek penyelenggaraan proyek konstruksi yaitu:
1.   Adanya faktor ketidakpastian dalam setiap proyek konstruksi
2.   Masalah yang berhubungan dengan kontrak konstruksi
3.   Perilaku oportunis dari para pihak yang terlibat dalam suatu proyek konstruksi.
Pada umumnya, klaim dalam proyek konstruksi disebabkan oleh dua pihak yang terlibat dalam suatu proyek konstruksi. Selain sebab-sebab dari pihak owner/pemberi order pekerjaan dan sebab-sebab dari kontraktor pelaksana, klaim dalam proyek konstruksi dapat diakibatkan oleh sebab-sebab dari luar.
Klaim yang disebabkan oleh owner/pemberi order biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Fisk (1997), dokumen kontrak yang tidak jelas seperti scheduling clause yang tidak lengkap berpengaruh dalam keterlambatan proyek. Menurut Rachim, terkadang sasaran waktu yang diberikan kepada penyedia jasa tidak realistis dan menjadi alasan terlambatnya proyek konstruksi (Abdulrasyid, 2009). Terhambatnya proyek konstruksi juga disebabkan karena owner/pemberi order kerja sering melakukan perubahan dalam rencana proyek yang telah disepakati. Rencana kerja yang tidak tepat atau kurang lengkap juga dapat menghambat pekerjaan dalam proyek konstruksi. Tidak lengkapnya rencana kerja ini kerap sekali terjadi dalam suatu proyek konstruksi. Kendala non teknis seperti keterlambatan pembayaran oleh pengguna jasa turut berpengaruh dalam terhambatnya proyek konstruksi. Pada dasarnya, kurangnya komunikasi antara owner/pengguna jasa dengan kontraktor/penyedia jasa menjadi pemicu timbulnya klaim.
            Selain penyebab dari pihak owner, klaim juga disebabkan oleh beberapa faktor dari pihak kontraktor pelaksana/penyedia jasa. Kontraktor yang kurang berpengalaman dalam menangani proyek konstruksi dapat menghambat berjalannya setiap elemen pekerjaan dalam proyek. Kesalahan interpretasi kontraktor terhadap rencana kerja, spesifikasi, atau gambar kerja dapat menyebabkan kesalahan produksi dalam suatu proyek konstruksi. Menurut Saleh, adanya kontraktor dari perusahaan lain yang juga bekerja dalam satu proyek dapat mengakibatkan kegagalan proyek karena tidak adanya kerjasama antar kontraktor (Ahuja dan Walsh, 1983). Begitu pula apabila kontraktor pelaksana dalam waktu yang bersamaan menangani lebih dari satu proyek, hal ini dapat menyebabkan hasil yang tidak maksimal dalam proyek konstruksi. Organisasi dan manajemen proyek yang baik sangat mendukung lancarnya suatu proyek konstruksi. Namun seringkali dalam suatu proyek konstruksi organisasi dan manajemen proyek tidak dikelola dengan baik. Organisasi yang tidak efisien dapat menghambat proses berjalannya proyek. Bahkan sering juga terjadi konflik dalam suatu organisasi proyek.
            Faktor dari luar yang tidak terduga dan dapat menghambat berjalannya suatu proyek konstruksi serta mengakibatkan klaim, terdiri dari beberapa faktor. Kualitas material yang digunakan dalam proyek, terkadang tidak sesuai dengan spesifikasi awal, dan ini dapat mengakibatkan penyimpangan kontrak yang dapat menimbulkan klaim. Selain itu, pengiriman material tidak selalu tepat waktu yang dapat menyebabkan terhentinya proses pekerjaan. Kemudian, rendahnya kualitas atau kemampuan pekerja dalam proyek dapat menghambat proyek. Penyedia jasa atau dalam hal ini kontraktor pelaksana sering menemukan perbedaan kondisi fisik antara kondisi di lapangan dengan kondisi yang tertera dalam dokumen kontrak. Selain itu, kondisi yang tidak terduga seperti hujan lebat atau cuaca yang tidak memungkinkan dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan pekerjaan sehingga terjadi keterlambatan pada proyek (Fisk, 1997).

Penyelesaian Klaim Kontrak
Menurut Eilen dan Imelda ada 6 (enam) metode penyelesaian yang umum digunakan dalam industri konstruksi, antara lain :
1.   Negosiasi
2.   Mediasi
3.   Arbitrasi
4.   Ligitasi
5.   Mini Trial
6.   Dispute Review Boards

DISPUTE (SENGKETA)

Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat disebut construction dispute. Sengketa konstruksi yang dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang perdata yang menurut UU no.30/1999 Pasal 5 diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase atau Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa. (Nazarkhan Yasin. 2004,Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi). Konstruksi dimaksud adalah kegiatan jasa konstruksi yang meliputi; Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan pekerjaan konstruksi.

Sengketa Tidak Berdasarkan Kontrak Konstruksi
Terdapat aturan hukum yang mengatur agar kegiatan manusia dapat berjalan dengan lancar, termasuk aturan hukum yang berlaku dalam bangunan. Pemerintah berperan sebagai badan yang mengeluarkan peraturan termasuk peraturan yang mengatur pelaksanaan pembangunan (misalnya masalah perijinan). Sengketa dapat timbul dengan pihak pemerintah bila pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan bangunan dianggap tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Mutiasari,2006).

Sengketa Berdasarkan Kontrak Konstruksi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan literature yang ada (Soekirno,2006; Julianta,2005; Andi,2005; Yasin,2004; Rostiyanti,1998) yang dikutip dalam Mutiara, 2006 didapatkan definisi jenis sengketa konstruksi, penyebab sengketa konstruksi dan jenis penyelesaian serta lembaga penyelesaian sengketa konstruksi sebagai berikut:
1.   Jenis sengketa
Jenis sengketa adalah perubahan kontrak yang diminta (klaim) secara tertulis, yang diajukan oleh salah satu pihak pada pihak lain sebagai kompensasi atas “kerugian” atau ketidaksesuaian implementasi suatu kontrak konstruksi. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai jenis sengketa, jenis sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 4 jenis sengketa yaitu:
a. Biaya:
·       Perubahan nilai kontrak
·       Perubahan harga satuan pekerjaan
·       Perubahan nilai angsuran pembayaran
b. Waktu:
·       Perubahan waktu kontrak
·       Perubahan jadwal kegiatan
·       Perubahan jadwal pembayaran
c. Lingkup pekerjaan:
·       Perubahan jenis pekerjaan
·       Perubahan volume
·       Perubahan mutu/kualitas
·       Perubahan metode pelaksanaan konstruksi
d. Gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa):
·       Kombinasi perubahan biaya dan waktu
·       Kombinasi perubahan biaya dan lingkup pekerjaan
·       Kombinasi perubahan waktu dan lingkup pekerjaan
·       Kombinasi perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan

2.   Penyebab sengketa
Penyebab sengketa adalah sumber timbulnya permintaan kompensasi secara tertulis atas “kerugian” atau ketidaksesuaian implementasi suatu kontrak konstruksi oleh salah satu pihak pada pihak lain. Sengketa dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 9 (Sembilan) penyebab sengketa sebagai berikut:
a. Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan:
·       Pemberian izin
·       Permintaan izin
·       Tidak adanya izin
b.     Penyebab sengketa berkaitan dengan surat perjanjian kerjasama (kontrak):
·       Isi surat kontrak tidak jelas
·       Isi surat kontrak tidak lengkap
c.     Penyebab sengketa berkaitan dengan persyaratan kontrak:
·       Isi persyaratan kontrak tidak jelas
·       Isi persyaratan kontrak tidak lengkap
d.     Penyebab sengketa berkaitan dengan gambar:
·       Gambar rencana tidak jelas
·       Gambar rencana tidak lengkap
·       Gambar kerja tidak jelas
·       Gambar kerja tidak lengkap
e.     Penyebab sengketa berkaitan dengan spesifikasi:
·       Spesifikasi tidak jelas
·       Spesifikasi tidak lengkap
·       Perubahan spesifikasi
·       Persyaratan spesifikasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
f.      Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB):
·       RAB tidak jelas
·       RAB tidak lengkap
·       Pengukuran hasil pekerjaan
g.     Penyebab sengketa berkaitan dengan administrasi kontrak:
·       Berita acara
·       Laporan
·       Foto/film

h.     Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi lapangan:
·       Kondisi lapangan tidak sesuai dengan kontrak
·       Perubahan kondisi lapangan
·       Kondisi lapangan tidak memungkinkan
i.      Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi eksternal:
·       Perubahan kebijakan pemerintah
·       Perubahan harga atau biaya
·       Pendanaan

Jenis Penyelesaian Sengketa
Secara umum jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan (cara litigasi) yaitu (UU RI nomor 18 tahun 1999; UU RI nomor 30 tahun 1999):
·       Negosiasi
Negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga namun memerlukan orang yang tepat untuk bernegosiasi.
·       Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersifat netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
·       Konsiliasi
Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak dengan menyerahkannya kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang bertindak sebagai konsiliator. Peranan konsiliator yaitu menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak.
·       Arbitrase
Arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka yang mungkin akan timbul di kemudian hari yang diputuskan oleh seorang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjukan pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. Badan arbitrase terdiri dari arbitrator yaitu pengacara, kontraktor, konsultan (engineer) dan konsultan hakim. Arbiter harus memiliki pengetahuan bidang konstruksi dan memahami permasalahan sengketa yang dihadapi.
Terdapat jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan (cara litigasi) lainnya yang digunakan di luar negeri, yaitu Eastern Distric of New York, 1993; Thomas B. Treacy, 1995; Frederick S. Keith, P. E.,1997) Court-Annexed Arbitration, Early Neutral Evaluation, Mediation, Concensual Jury or Court Trial before a United States Magistrate Judge, Settlement Conferences, Special Masters, Arbritration, Dispute Review Board (by ASCE committee on Contract Administration), Minitrial Summary Jury Trial dan Private Judging.

Lembaga Penyelesaian Sengketa
Lembaga penyelesaian sengketa adalah lembaga yang dapat membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi. Lembaga penyelesaian sengketa menurut Soekirno, 2006; Widjaja, 2002; Emirzon, 2001; Margono, 2000 yang dikutip dari Mutiara, 2006 adalah sebagai berikut:
·       Negosiator.
·       Mediator.
·       Konsiliator.
·       Lembaga Arbitrase.

ANALISIS KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI DI PROVINSI JAWA TIMUR BERDASARKAN KONTRAK KERJA

Latar Belakang
Keterlambatan proyek konstruksi berarti bertambahnya waktu pelaksanaan penyelesaian proyek yang telah direncanakan dan tercantum di dalam kontrak (Kusjadmikahadi, 1999). Keterlambatan pelaksanaan proyek umumnya selalu menimbulkan akibat yang merugikan bagi pemilik maupun kontraktor karena dampak keterlambatan adalah konflik dan perdebatan tentang apa dan siapa yang menjadi penyebab, juga tuntutan waktu, dan biaya tambah (Praboyo, 1999). Berdasarkan studi kasus beberapa proyek konstruksi di Provinsi Jawa Timur sebagian besar mengalami kendala keterlambatan dalam penyelesaiannya yang disebabkan oleh beberapa faktor. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan menjadi solusi akibat terjadinya keterlambatan. Namun keterlambatan masih juga sering terjadi, maka dari itu dalam penelitian ini penulis ingin melakukan studi kasus mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keterlambatan, peranan peraturan perundang-undangan dalam menyikapi keterlambatan proyek konstruksi dan penerapan penanggulangan keterlambatan proyek konstruksi di Jawa Timur ditinjau dari sisi kontrak atau sesuai dokumen kontrak.
            Data Yang Didapatkan
Data faktor dominan yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi di Jawa Timur
Faktor Keterlambatan
Proyek Pemerintah
Proyek Swasta
Tenaga kerja
22%
12%
Cuaca
22%
25%
Desain
17%
-
Menajerial
17%
6%
Material
11%
25%
Keuangan
11%
19%
Peralatan
-
13%

Berdasarkan pola yang di hasilkan dan dapat dilihat pada penyajian data, maka dapat dilihat dengan jelas bahwa faktor dominan yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi di daerah Provinsi Jawa Timur baik dalam lingkup Pemerintah maupun Swasta adalah di dominasi oleh faktor cuaca, yaitu tingginya intensitas curah hujan. Hal ini didukung dengan kondisi real yang terjadi di lapangan di setiap penghujung tahun sekitar bulan Agustus-Desember.
Pembahasan
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, maka dapat kita lihat suatu pola dari faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan. Dari data diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa faktor cuaca kontras menjadi faktor dominan dikedua sektor yaitu Pemerintah dan Swasta. Pada proyek Pemerintah, faktor lain yang mendominasi selain cuaca adalah faktor tenaga kerja / tenaga ahli (Sumber Daya Manusia). Hal ini tentu disebabkan karena kurangnya skill dari pekerja yang sesuai dengan standar pekerjaan yang dilakukan dan sesuai dengan profesi yang di emban. Misalnya ada beberapa pekerja yang tidak memiliki Sertifikat Keahlian atau ada beberapa pengawas yang berpendidikan tinggi tetapi dalam bidang lain seperti misalnya Hukum, hal ini jelas menyimpang karena di lapangan yang di butuhkan adalah keahlian teknis khususnya dibidang Teknik Sipil. Hal ini sesuai dengan pendapat Fansuri (2014), dalam jurnal yang berjudul “Penyebab Terjadinya Keterlambatan Waktu Penyelesaian Proyek Konstruksi Di Dinas PU. Bina Marga Kabupaten Sumenep” yang menyatakan bahwa Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi. Faktor berpengaruh berikutnya adalah desain, yaitu perubahan pada desain. Hal ini dikarenakan pada proyek pemerintah desain suatu bangunan menyesuaikan dengan kebutuhan khalayak ramai karena sebagian besar bangunan khususnya gedung adalah dibangun untuk kepentingan umum / fasilitas umum dengan menyesuaikan manfaat dan juga kapasitas bangunan tersebut.
            Demikian halnya dengan proyek Swasta, faktor cuaca juga mendominasi keterlambatan proyek konstruksi. Kemudian untuk faktor lainnya yang paling mendominasi adalah faktor material. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasibuan, et. al., (2013), pada jurnal yang berjudul “Analisa Manajemen Terhadap Faktor Keterlambatan Proyek Konstruksi di Lingkungan Dinas Pariwisata Kabupaten Rokan Hulu” menyatakan bahwa Bahan / Material merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi. Dan setelah penulis teliti lebih lanjut, faktor ini disebabkan karena spesifikasi material / bahan ditentukan oleh pemilik (owner), jadi material yang digunakan adalah sesuai dengan selera pemilik (owner). Oleh karena itu, material yang sesuai seringkali susah ditemukan di pasaran. Selain itu kadang pemikiran pemilik (owner) juga berubah seiring berjalannya waktu pelaksanaan proyek, yaitu mengenai penggantian material karena ternyata pemilik (owner) menemukan material yang lebih bagus, lebih murah, atau lebih sesuai selera.
Peran peraturan perundang-undangan
Penanganan keterlambatan yang disebabkan oleh berbagai faktor diatas telah diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan. Diantaranya yaitu Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yaitu pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang mewajibkan penyedia jasa menyerahkan hasil pekerjaan secara tepat biaya, waktu dan mutu atau jika tidak maka penyedia jasa dikenai ganti rugi sesuai dalam kontrak. Kemudian pada Perpres No. 54 Tahun 2010 Jo Perpres No.35 Tahun 2011 Jo Perpres No. 70 Tahun 2012 pasal (120) mengatakan bahwa “Penyedia barang / jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak karena kesalahan penyedia barang / jasa, dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan”. Pada Perpres No.54 Tahun 2010 disebutkan tidak melampaui besarnya jaminan pelaksanaan, sedangkan pada Perpres No.70 Tahun 2012 maksimal denda tidak disebutkan. Dan denda maksimal 5% pada Perpres No.54 Tahun 2010 tidak diatur lagi. Peraturan selanjutnya adalah dalam LKPP (Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah) No. 14/2012 yang mengatur tentang keterlambatan proyek konstruksi menyebutkan besarnya denda kepada penyedia barang / jasa yaitu : “1/1000 (satu perseribu) dari harga bagian kontrak yang tercantum dalam kontrak dan belum dikerjakan, apabila bagian pekerajaan dimaksud sudah dilaksanakan dan dapat berfungsi; atau 1/1000 (satu perseribu) dari harga kontrak, apabila bagian barang yang sudah dilaksanakan belum berfungsi”.
Peran Kontrak Kerja
Penanganan keterlambatan yang disebabkan oleh berbagai faktor diatas telah diatur juga dalam kontrak kerja sesuai standar masing-masing. Pada proyek pemerintah diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No :07/PRT/M/2014 Tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang standar dan pedoman pengadaan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultasi Buku PK 01 HS: Pascakualifikasi pelelenagan umum / pemilihan langsung), Kontrak Harga Satuan, yaitu pada SSUK (Syarat-Syarat Umum Kontrak) bagian B.6 Penghentian dan Pemutusan Kontrak No.43 Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan dan Kontrak Kritis menyatakan “Apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadwal, maka PPK harus memberikan peringatan secara tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis”. Kontrak dinyatakan kritis apabila :”Dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0% – 70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana; Dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70% -100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana; Rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan”. Penanganan Kontrak kritis ini dilakukan dengan pemutusan kontrak oleh PPK karena pekerjaan dinyatakan selesai atau terjadi keadaan kahar, Maka PPK membayar pada penyedia jasa sesuai prestasi melalui rapat pembuktian / SCM (Show Cause Meeting), Sedangkan keterlambatan yang melampaui tahun anggaran diberi kesempatan 50 (lima puluh) hari sejak berakhir pelaksanaan pekerjaan dan dengan denda 1/1000 dari nilai kontrak / bagian kontrak atau dengan Adendum (Untuk menentukan anggaran pada tahun berikutnya). Dalam SSKK (Syarat-Syarat Khusus Kontrak) pada Permen PU mengatur tentang pembayaran atas prestasi pekerjaan yaitu berupa termin I realisasi fisik 30%, Termin II realisasi fisik 55%, Termin 3 realisasi fisik 80%, Termin IV realisasi fisik 100%. Masing-masing termin adalah pembayaran 25%. Penentuan Termin ini tidak selalu sama seperti yang telah disebutkan di atas tetapi penentuan besar persentase realisasi fisik serta pembayarannya sesuai kebijakan PPK Dinas setempat. Pada kontrak kerja Swasta, klausula yang mengatur tentang keterlambatan adalah pasal “Wanpretasi” menyatakan bahwa Pihak Kedua dinyatakan wanpretasi atau ingkar janji, yakni apabila “Pihak Kedua tidak memenuhi kewajiban melaksanakan pekerjaan berdasarkan perjanjian sama sekali, Pihak Kedua tidak memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian ini secara tepat waktu, Pihak Kedua memenuhi kewajiban pekerjaan dan tepat waktu, tetapi hasil pekerjaan tidak sesuai dengan surat penawaran beserta lampirannya, Pihak Kedua melakukan suatu tindakan yang menurut perjanjian ini tidak boleh dilakukan dan / atau pernyataan dan jaminan yang diberikan pihak Kedua kepada pihak Pertama terbukti tidak benar”. Dengan “Sanksi” pihak Kedua wajib melakukan pembayaran denda keterlambatan kepada pihak Pertama sebesar 1/1000 dari Nilai pekerjaan untuk setiap hari keterlambatan, dan tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari terhitung sejak hari pertama keterlambatan pekerjaan tersebut terjadi. Semua ini dibuktikan melalui surat pemberitahuan peringatan atau teguran dari pihak Pertama kepada Pihak Kedua.

Daftar Pustaka: